Cinta di Kota Serambi

(Sebenarnya saya waktu itu sedang tak ingin membaca novel bertema islami karena sering ‘tertipu’. Susah cari yang berkualitas diantara pengekor trend. Tapi ternyata novel ini bukan novel bertema islami. Unsur minang nya yang memicu saya membaca. Ah, saya memang suka dengan ‘Minang’. Terima kasih untuk Pak Presiden yang baik hati meminjamkan)

Novel cinta di kota serambi menambah deretan novel-novel Indonesia yang diangkat berdasarkan kisah nyata pengarangnya. Setelah Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara sekarang hadir pula Cinta di Kota Serambi. Irzen hawer, sang novelis mengatakan novel Cinta di kota Serambi diangkat dari kisah nyata yang ia alami saat kecil hingga remaja ditambah dengan kisah beberapa orang terdekatnya.
Ketiga-tiga novel tersebut sama-sama memasukkan unsur pendidikan, kesulitan untuk meraih impian dalam jalur pendidikan. Hanya saja novel Cinta di Kota Serambi lebih kaya, ia menyinggung banyak hal mulai dari pendidikan, agama, cinta dan sangat kental akan adat istiadat Minang. Melalui novel ini, pembaca yang berdarah Minang atau menghabiskan waktu lama di ranah minang disegarkan kembali ingatannya tentang hal-hal berbau Minang. Baik itu melalui latar atau setting cerita yaitu Padangpanjang, tokoh, keseharian tokoh, hingga ke hal-hal yang terkesan remeh temeh namun langsung mengingatkan pada Ranah Minang. Misalnya kerupuk kuah, permainan buah damar, kue pinukuik dan beberapa hal lainnya.

Hal-hal ‘besar’ yang tentang ‘keminangan’ bukan hanya disinggung oleh Irzen atau bukan hanya sekedar menjadi bagian dari pelengkap cerita. Tapi disajikan cukup mendalam sehingga untuk pembaca yang bukan orang Minang, akan menjadi tahu adat istiadat Minang. Seperti ensklopedi, Irzen menampilkan beberapa unsur adat istiadat Minang ke dalam cerita. Unsur-unsur itu dimasukkannya ke dalam penceritaan tapi tidak terkesan terlepas dari cerita. Ia lesap dan luluh ke dalam cerita hingga membuat novel Cinta di Kota Serambi sebagai novel yang sajian Minangkabau.

Irzen menyampaikan beberapa hal tentang adat istiadat Minang, diantaranya tentang hubungan mamak kemenakan, dimana mamak berfungsi sebagai penjaga dan pemelihara harta pusaka dan menjaga, mengayomi kemenakan. Irzen juga tidak melupakan konflik yang terjadi di masyarakat Minang terkait hubungan mamak dan kemenakan. Melalui tokoh Udin, kemenakan yang tergadaikan masa depannya karena seorang mamak yang menyalahgunakan fungsi sebagai mamak. Udin diceritakan tak bisa melanjutkan pendidikannya ketingkat kuliah karena sang mamak menghabiskan harta pustaka yang diwariskan ayahnya untuk bermain judi.

Silat khas Minangkabau juga disinggung dalam novel ini, ketika Udin terpaksa harus bertengkar melawan sepupunya. Irzen menyinggung masalah silat hingga ke sejarah silat itu sendiri. Ia menyebutkan sejarah terciptanya silat hingga ke penyebaran silat yang kemudian menimbulkan sebutan daerah Luhak Nan Tigo, yaitu Agam,. Limapuluh Kota dan Tanah Datar. Irzen juga seakan ingin menyegarkan kembali tujuan silat yang bukan untuk mencari musuh tapi untuk membela diri. “Musuh tidak dicari, bertemu pantang dielakkan” dalam pemikiran tokoh Udin.

Untuk unsur pendidikan, di novel yang belatar belakang tahun 1970-an ini Irzen mengingatkan kembali potret buram pendidikan Indonesia dimana siswa masih mengalami pengusiran di sekolah karena tak membayar uang sekolah (SPP) atau uang pembangunan. Ditambah lagi dengan susahnya seorang siswa untuk bisa terus bersekolah dalam keadaan ekonomi yang tidak mendukung.

Tokoh Udin dan Syam diceritakan memiliki cara masing-masing menyelesaikan masalah pendidikan masing-masing. Solusi yang tetap memberikan kesan khas minang . kisah yang inspiratif untuk pembaca yang mungkin memiliki masalah serupa. Tokoh Udin yang tak bisa melanjutkan sekolah karena harta pusaka disalahgunakan oleh mamak. Memilih menjadi merantau dan menjadi Garin di sebuah masjid untuk mengumpulkan uang sehinga bisa melanjutkan pendidikan nantinya. Suatu hal yang sangat Minang jika mengingat konsep kembali ke surau. Sedang tokoh Syam membagi waktu antara sekolah dan bekerja menjual kue di subuh dan sore hari untuk membantu ekonomi keluarga dan mencukupi biaya pendidikan.

Irzen juga seakan membandingkan masalah percintaan zaman dulu dan zaman sekarang. Melalui tokoh Udin, percintaan yang ‘islami’ ditunjukkan. Hubungan perempuan dan laku-laki dipaparkan Irzen hanya halal melalui pernikahan. Jika dibandingkan dengan kisah Syam yang menjalin hubungan dengan Minah sedari umur yang masih sangat remaja, saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Minah yang meninggalkan Syam dan pindah keluar kota berpengaruh negatif untuk kehidupan Syam di masa mendatang. Syam digambarkan sering ‘terganggu’ akan ingatan-ingatannya tentang Minah yang kemudian sedikit banyak mengganggu kegiatannya menuntut pendidikan. Mungkin melalui novel ini Irzen ingin menjelaskan hubungan seperti apa yang seharusnya dijalani anak-anak muda sehingga tidak mengganggu dan merugikan diri sendiri di masa yang mendatang.

Hanya saja karena banyak hal yang dibahas oleh novel Cinta di Kota Serambi ini, ada hal-hal yang dibahas tanpa sampai di ujung. Sehingga pembaca tidak sampai kepada konflik yang maksimal dan dibuat benar-benar tersentuh dari masalah-masalah yang diceritakan. Selain itu ada beberapa kata-kata dalam bahasa Minang yang diserap secara paksa ke dalam bahasa Indonesia. Sehingga kata-kata itu tidak termasuk ke dalam kata baku Indonesia atau bahasa Minang. Misalnya kata “paraweh (dalam bahasa minang)” yang diartikan menjadi Perawas yang mungkin dianggap sebagai bahasa Indonesia. Padahal paraweh jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti jambu biji.
Namun bagaimana pun diantara semakin sedikitnya novel yang berlatar Minang dan benar-benar kental bahasa minangnya. Cinta di Kota serambi bisa menjadi salah satu piliuhan yang paling efektif untuk menyegarkan kembali kita akan cerita tentang “Minangkabau”.