sebuah catatan senja cerpen_Q

Kuasa

“Aku masih ingat sekali, seminggu sebelumnya aku telah menerima surat panggilan dari Bank BCA. Aku diterima bekerja di sana,” lambat suara Amenk menyeruak di telingaku. Aku menjadi teman ceritanya semenjak 5 bulan dia berada di jeruji besi itu. Namun menurutnya berada di LP bukanlah sesuatu yang menakutkan. Dia seolah-olah berada di rumah kos-kosan pelajar atau mahasiswa. Punya kasur sendiri, lemari tempat menyimpan baju, ada televisi, tape, dispenser, bahkan magic come. Hanya saja bedanya, 1 ruangan itu terdiri dari 8-9 orang bahkan lebih. Tapi aku tau sekali kalau ceritanya itu hanya untuk menenangkan ku di sini. Entahlah.

Aku terenyuh. Betapapun tegarnya dia, aku tau sekali kalau saat ini dan semenjak putusan sidang itu, hatinya dipenuhi pecahan beling. Kalau aku di posisinya, aku sudah kalut dan mencari jalan pintas mungkin. Tapi dia tidak memperlihatkannya. Dia lebih membelenggu air matanya agar tak memancing air mata orang-orang di sekelilingnya.

***

Kaki ku bergetar. Tak ku sangka aku akan sampai ke tempat yang selama ini hanya ku saksikan di televisi. Pikirku, di dalamnya kejam. Semua seperti macan dan berlaku pula seperti macan. Orang yang berani dialah yang menjadi raja. Tapi beda, ternyata penuh ketenangan juga rupanya. Sekelebat ku melihat orang yang awalnya akan ku temui. Walaupun sebenarnya bertentangan dengan hati kecilku, tapi sebagai seorang kemenakan aku harus menemuinya. Dan terpenting memberi dukungan padanya.

”Amoy.” sambut orang itu. Aku mengenalnya. Sangat. Tapi dia tampil beda. Tak lagi ada rambut rapi yang dipoles minyak berbau wangi. Rambutnya telah habis, kulit kepalanya tampak jelas. Ada sedikit memar di atas alis dan di pipinya. Pakaiannya pun seperti pakaian yang kulihat selama ini di sinetron itu. Bermerek tahanan.

”Makciak sehat?” lirihku tergagap. Dan setelah itu suara ku digantikan dengan titik-titik lain.

Dia hanya tersenyum. Mencoba membuktikan kalau dia tidak apa-apa.

“Inilah yang namanya hidup.”

“Kita harus berani mencoba, dan ketika kita telah terjebak di dalamnya, jangan pernah mencoba lari dari resikonya.” Makciak dengan santainya memberi petuah padaku. Mungkin juga. Ini bukanlah sesuatu yang disesali.

“Ini hanya sebuah permainan, Moy,” tukasnya lagi.

”Sedikit saja, kita bisa tenang dan terlupa akan masalah. Dan kemudian hasil penjualannya jauh lebih menjanjikan dibandingkan menjual mobil yang saban hari tidak ada pembelinya.”

Aku tak berkutik. Hati ku sangat menentang apa yang diucapkan mamak ku itu. Aku rasa ia memang menikmatinya. Namun tiba-tiba aku melihat wajah yang begitu ku kenal.

Aku yakin mengenalnya. Berjalan melangkah menyusuri gerbang demi gerbang yang terkunci rapat dengan gembok yang kira-kira beratnya 1 kilo. Terlihat gontai. Namun dia berubah. Wajahnya jauh lebih bercahaya. Badannya sedikit lebih tinggi. Rambutnya pendek, rapi. Orang-orang pasti tau kalau usianya membuat dia tidak pantas berada di sana.

”Aku mengenalinya,” batinku.

Tanpa segan aku menyapanya untuk memastikan firasatku. Dan ternyata benar. Dia mengenaliku. Mengenali berbagai perubahan pada diriku. Tak kecil seperti waktu sekolah dulu. Jauh lebih dewasa katanya. Namun aku tak berani menanyakan perihal dirinya.

Dia membaca pikiranku.

”Aku terjebak. Hal yang mungkin sangat kamu takutkan dalam dunia anak muda. Tapi dia menyenangkan. Dia menghabiskan uangku sekaligus memberikan ketenangan kepadaku,” jelas Amenk tanpa basa basi.

***

”Amenk, kau bisa ke rumah sebentar? Zahra dari tadi merengek. Dia ingin pergi jalan-jalan denganmu.” pinta kakak saat itu meneleponku.

”Akan aku usahakan setelah pulang kerja nanti kak.”

Hatiku ini berdegup kencang. Ingin sekali rasanya segera bertemu dengan kemenakan kesayanganku itu. Mungkin kontak batinku terlalu erat dengannya. Tapi tak pernah aku merasakan yang seperti ini. Batinku pula.

Tapi sepulang aku bekerja aku tidak dapat memenuhi permintaan kemenakan ku itu. Aku pulang terlalu larut malam. Besoknya, sengaja aku tak masuk kerja untuk kemenekan semata wayang ku itu. Dia amat manis. Manis juga untuk menghilangkan rasa kesalku atau kadang rasa depresi ku saat banyak masalah di tempat bekerja atau menyangkut hubunganku dengan seorang wanita teman dekatku.

Puas seharian aku bermain dengannya. Mulai dari memandikannya, menyuapinya, kemudian membawanya jalan-jalan. Namun terkadang aku merasakan keanehan. Kenapa kemenakan ku ini tak seperti biasanya. Seolah-olah dia tidak mau melepasku dan ingin bersama ku saja untuk hari ini. Hingga pukul 12.00 Wib, telepon genggam ku berbunyi.

”Amenk, kau bisa membantuku?” pinta orang di seberang sana yang tak lain adalah teman ku atau lebih pantas ku sebut sahabat. Dia begitu baik. Tak pernah ada pertengkaran di antara kami. Kami bersahabat sudah lama. Ini lantaran dia juga merupakan tetanggaku. Aku mengenalnya semenjak berusia 16 tahun, ketika aku pindah sekolah dari Medan ke kota Bukittinggi hingga sekarang aku berusia 21 tahun. Dari dia jugalah aku kembali mengenal barang ajaib yang sempat ku tinggalkan itu. Dan dari dialah aku belajar banyak soal persahabatan. Dia tidak pernah memeperhitungkan apapun kepadaku. Sama ada, dan sama tidak ada pula.

”Tolong kau carikan aku. Aku butuh sekali. Untuk teman ku yang saat ini sedang membutuhkannya. Sedangkan aku, aku tidak bisa membantunya.”

Tanpa pikir panjang aku mencarikan barang yang dimintanya. Namun, stok di semua tempat yang aku tau, telah habis. Aku merasakan sekali apa yang dirasakan teman sahabatku itu.

Rasa itu sekarang diingatkan kembali oleh sahabatku itu. Nafasku sesak, kepala ku sakit. Aku lebih memilih mengurung diri di kamar. Menghabiskan sisa-sisa yang masih menempel di plastik-plastik bekas atau suntikan-suntikan bekas yang masih ada di kamar ku. Aku seperti kehilangan organ di tubuhku. Semua persendianku terasa tak berfungsi. Namun itu akan hilang ketika sedikit saja obat penjinaknya datang. Dan alang kepalang tidak datang, aku lebih memilih mengoyak-ngoyak tanganku untuk menahan tarikan dari dalam tubuh ku. Tapi itu tak cukup. Bahkan rasa ingin mendapatkannya jauh lebih besar. Dan sulit untuk keluar dari itu.

Tancap gas. Aku langsung menuju daerah kecil di Payakumbuh. Aku ingin menolong teman sahabat ku itu. Aku tidak ingin dia merasakan perih itu. Akhirnya ku dapatkn. Lumayan berat, sesuai dengan pesanan dan sedikit ku lebihkan untukku.

Dalam perjalanan pulang. Seperti biasa, aku seperti orang tak berdosa melintasi jalan raya yang masih disibukkan oleh kendaraan yang lalu-lalang menuju tempat peristirahatan mereka setelah lelah bekerja. Tiba-tiba, ada kerumunan. Ternyata ada kecelakaan.

Tak beberapa meter dari tempat kecelakaan itu, aku merasa ada yang mengikuti ku. Beberapa petugas kepolisian ada di belakang. Tak lama, mencoba mendahuluiku dan memintaku berhenti. Kemudian petugas itu menyergap ku. Aku terpaksa berhenti. Keringat dingin mengucur di punggungku. Kamudian aku berada di ruangan dingin. Tak berpintu, hanya ditutupi susunan besi rapat dan kuat.

Rasa perih begitu kental ku rasakan. Batang hidungku terasa patah. Tanganku memar-memar. Dan punggungku sakit sekali. Hantaman demi hantaman tumit sepatu petugas itu melayang tanpa belas kasihan terhadapku. Dan di seberang aku melihat sahabatku.

”Terima kasih atas kerja samanya,” ucap seorang perugas kepolisian sembari menyodorkan setumpuk uang kepada sahabat ku itu.

Dia pun tersenyum dan membalas dengan jabatan tangan. Dan petugas kepolisian itu bergegas mengemasi telepon genggam ku yang ku beli dengan gaji dua bulan ku bekerja. Setara gaji pegawai negeri golongan C.

***

Desahan nafasnya membuatku bungkam. Tak ada yang mampu ku ucapkan. Terpaan hidup mengajarkan banyak hal. Kemudian aku mendatangi Amenk sekali sebulan. Memberikan semacam dukungan. Dia akan menjalani hidup di kosan gratis itu untuk masa 3 tahun. Berbeda dengan Makciak yang cuma dibebani 8 bulan. Itu pun dipotong masa tahanan 4 bulan.

”Semuanya sudah diatur,” bisik Mak Munah. Dia istri Mamak ku itu.

SeluetChiMoet_2009

i26karikatureb9